Jakarta, 7 Oktober 2025 – Pada momentum peringatan dua tahun serangan Hamas–Israel yang kembali memicu ketegangan di kawasan Timur Tengah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Politik (PRP), bekerja sama dengan Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) dan Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), menyelenggarakan seminar bertajuk “Refleksi Dua Tahun Serangan Israel–Hamas: Mendorong Solusi Perdamaian Berkelanjutan”. Kegiatan berlangsung Selasa (7/10) di Kampus BRIN, Kawasan Sains dan Teknologi Sarwono Prawirohardjo, Jakarta Selatan.
Seminar ini menghadirkan sejumlah akademisi,
peneliti, dan tokoh dari berbagai institusi untuk membahas krisis kemanusiaan
di Palestina dan upaya mendorong solusi perdamaian yang berkelanjutan.
Dalam sambutannya, Dr. Yan Rianto, M.Eng,
Kepala OR Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, menegaskan bahwa tragedi
kemanusiaan di Gaza menjadi perhatian global, termasuk bagi bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam.
“Ini tidak hanya masalah agama, tetapi juga
menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus melakukan langkah konkret untuk
mendukung saudara-saudara kita di Palestina agar perdamaian bisa terwujud,”
ujarnya.
Sementara itu, Dr. H. Muhammad Saifulloh, M.Si,
Rektor Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), menekankan pentingnya
dukungan nyata terhadap perdamaian di kawasan tersebut.
“Sejak awal, sikap pemerintah Indonesia jelas:
memberikan solusi bagi kedua negara dengan mengakui Palestina sebagai entitas
merdeka. Karena kemerdekaan adalah hak setiap bangsa,” tegasnya.
Dr. H. Ryantori, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Moestopo, menambahkan bahwa konflik Palestina–Israel
sudah berlangsung panjang sejak peristiwa Nakba 1948. “Meski sejak 1947 sudah
ada Resolusi 181 PBB, konflik terus berulang hingga perang terbaru Israel–Hamas
pada 7 Oktober 2023,” ujarnya.
Menurut Ryantori, meski solusi damai dua negara terus digaungkan,
kenyataannya banyak warga Palestina masih menjadi pengungsi.
”Kita tahu, syarat untuk berdirinya suatu negara di antaranya ada
wilayah, ada penduduk, ada pemerintahan. Bicara Palestina, pemerintahan sudah
ada, penduduknya ada, tapi kebanyakan di luar yang disebut tadi refugee
atau pengungsi,”
Ryantori menyarankan agar hak-hak warga Palestina yang mengungsi
dipulihkan. Ia juga menyarankan agar warga Palestina yang masih berada di luar
Palestina dikembalikan ke negaranya. ”Pembangunan-pembangunan (oleh Israel) di
Tepi Barat dihentikan, penghancuran-penghancuran di Gaza harus dihentikan,”
ujarnya.
Dari sisi penelitian, Nostalgiawan Wahyudi, M.A.,
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, memaparkan data terkini mengenai dampak
kemanusiaan. Ia menyebut serangan Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari
66.000 warga Palestina, sementara blokade ketat menyebabkan kelaparan, krisis
air, hingga tingginya angka kematian anak-anak dan perempuan akibat malnutrisi.
“Situasi ini memperkuat pentingnya solusi dua
negara. Palestina tidak mungkin bisa bertahan tanpa kemerdekaan yang diakui
penuh,” tegasnya.
Pandangan senada disampaikan Asep Setiawan,
Kepala Laboratorium Kajian Global dan Indonesia FISIP Universitas Muhammadiyah
Jakarta, yang menilai peran Liga Arab dan OKI penting untuk mendorong diplomasi
di forum internasional, termasuk di PBB.
Melalui partisipasi aktif dalam seminar ini,
Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) menegaskan komitmennya dalam
mendorong upaya perdamaian dan keadilan global, sesuai dengan nilai kemanusiaan
universal serta prinsip dasar bangsa Indonesia dalam politik luar negeri bebas
aktif.