JAKARTA - Gerakan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo memiliki peran besar dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Karena itulah, Rektor Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Prof. Dr. H. Paiman Raharjo, M.M., M.Si., memandang penting hal tersebut.


Menurut Prof. Paiman, bangsa Indonesia masih memiliki beberapa hal yang menjadi tantangan mulai dari kualitas pendidikan SDM pekerja, tingkat kompetisi di industri, keterampilan tenaga kerja, hingga berbagai karakter yang sudah tertanam di masyarakat.


"Karena itu, revolusi mental ini adalah gerakan penting untuk menjadikan Indonesia negara maju dan demi mewujudkan Visi Emas 2045," kata Prof. Paiman pada Workshop Tata kelola Organisasi yang Baik dan Revolusi Mental yang diadakan Universitas Moestopo di Wisma Perusahaan Gas Negara, Bogor, beberapa waktu lalu.


Menurut data, tenaga kerja Indonesia yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi hanya berjumlah 7,2%. Sedangkan yang memiliki kualifikasi pendidikan menengah hanya ada di angka 22,4%. Majoritas tenaga kerja masih berkualifikasi pendidikan dasar.


Prof. Paiman menjelaskan bila masyarakat Indonesia sudah terlalu lama membiarkan praktik-praktik tidak jujur, tidak memegang etika dan moral, tidak bertanggung-jawab, tidak dapat diandalkan, dan tidak bisa dipercaya dalam berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain sebagai bangsa kita kehilangan nilai-nilai Integritas.


Dalam bidang perekonomian Indonesia juga tertinggal jauh dari negara-negara lain, karena kita kehilangan etos kerja keras, daya juang, daya saing, semangat mandiri, kreatifitas dan semangat inovatif.


"Sebagai bangsa kita krisis identitas. Karakter kuat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai semangat gotong royong dan saling bekerja-sama demi kemajuan bangsa meluntur. Kita harus mengembalikan karakter bangsa Indonesia ke watak luhurnya, yaitu gotong royong," tegas Prof. Paiman.


Ada 4 pelaku utama yang harus bergerak untuk menyukseskan gerakan revolusi mental ini, yakni penyelenggara negara, masyarakat, dunia usaha, dan dunia pendidikan.


Dengan kolaborasi tersebut, lanjut Prof. Paiman, tujuan utama revolusi mental seperti mengubah cara pandang, pola pikir, sikap, perilaku dan cara kerja yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia bisa terwujud.


Gerakan revolusi mental juga akan membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistik dalam menatap masa depan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan besar untuk berprestasi tinggi, produktif dan berpotensi menjadi bangsa maju dan moderndengan fondasi tiga pilar Trisakti.


"Revolusi mental diharapkan juga bisa mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian yang kuat melalui pembentukan manusia Indonesia baru yang unggul menerapkan nilai-nilai integritas, kerja keras, dan semangat gotong royong," tegas Prof. Paiman.


Sementara itu, menurut Guru Besar IPDN, Prof. Dr. Drs. Khasan Effendy, M.Pd. tata kelola organisasi yang baik, mulai dari tingkat terkecil hingga pemerintahan juga mampu mewujudkan kemajuan.


Pemerintahan yang baik, menurut Prof. Khasan, haruslah memiliki beberapa prinsip tata kelola seperti fairness, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan kemandirian,


"Gagasan revolusi mental pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Saat ini, nilai revolusi mental mencakup banyak hal seperti Religious, Humanistic, Unity, Democratic, Social Welfare, Professionalism, dan Visionary," lugas Prof. Khasan.


Sementara itu, revolusi mental yang dimaksud Jokowi direfleksikan untuk mengembalikan karakter orisinal bangsa yang mulai “terkikis”. Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. 


"Karakter tersebut harus kita raih kembali karena merupakan modal yang mampu membawa masyarakat sejahtera dan mencegah dari pada menipisnya karakter bangsa atas aktivitas korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan," kata Prof. Khasan.

Related Post